Paraga sebagai aktualisasi a’rannu-rannu/ bersenang-senang /bermain-main,
merupakan kegiatan yang dilakukan
ketika waktu senggang, pengejawantahan dari aktualisasi ini mengiring tari
ma’raga kemudian menjadi, tradisi ritual bagi masyarakat budaya. Adapun
ma’raga dengan atraksi estetika dan penguatan ritual
menyebabkan kegiatan ini menjadi tradisi yang tercampuri dengan ritual (pada
prosesi awal). Kemudian atraksi ini digelar untuk menyambut tamu.
Tarian ini dimainkan oleh 6 orang laki-laki dengan
pakaian adat passapu`, dipadu dengan baju kantiu dengan celana barocci, untuk memperlihatkan keterampilan/atraksi dalam
memainkan bola raga (bola takraw).
Atraksi ini menarik perhatian
penonton. Pemain dengan lincah memainkan bola raga sambil berdiri di
atas pundak 2 orang rekannya. Ia mampu menjaga keseimbangan sambil menendang
bola raga tanpa menyentuh tanah. Peralihan gerakan bola takraw secara
bergantian semua mendapat giliran kendatipun penari sedang memanggul temanya,
dan gerakan lain diluar perkiraan, ketika ia
memasukkan bola raga ke dalam sarungnya melalui tendangan.
Prosi ritual dibalik Ma’ raga, menurut H. Sese Sangalinna, Pembina tari Ma’ raga, “bola takraw
tersebut dianyaman dengan bahan rotan hingga menjadi tiga lapis, adapun
iktikadnya, “ampedecengngi makkatenning
ri lempu’e, nasaba puangge passabakeng” (bahasa Bugis, terj; berilah
persangkaan baik dan keberpegangan pada kelurusan, karena Tuhan adalah segala
sebab), setelah selingan, lanjut ia mengatakan “ bahwa bola yang kami pakai
bukan lah sesungguhnya bola, tapi ia adalah sebuah bayangan dari bola yang
sesungguhnya”. Ungkapan selanjutnya ia sampaikan berkelakar “pandangan penonton
disaat kami pentas/atraksi, personil
tari hanya 6 orang tapi sesugguhnya kami bermain dengan 7 orang, yang
menyebabkan bola tak bisa jatuh dengan trik apapun memainkanya”.
Sumber lain
mengatakan -Andi Fachri Makkasau (Sejarawan Lokal Kab. Maros), mengungkapkan “
sebelum aksi Ma’ raga, bola takraw tersebut diangkat keatas Gentong yang penuh
dengan air, kemudian bola asli didekatkan dengan air sehingga bayangan bola
kelihatan diatas permukaan air, dan bayangan bola tersebutlah yang digunakan
untuk atraksi”, lanjut ia mengatakan “bahwa pementasan Pa’raga ini pernah
dipentaskan pada acara apresiasi Budaya Sulawesi Selatan
1995, proses itu
dimulai dari Lapangan Karebosi kemudian mengelilingi Makassar hingga
tiba
kembali ke Lapangan Karebosi tanpa bola takraw tersebut pernah jatuh,
meskipun
atraksi ini diselingi dengan
assisoppo-soppo (salin bersusun dan menaiki bahu dengan peralihan bola
yang atraktif)_ referensi >*Kaimuddin Mabbaco, "Kearifan Budaya
Lokal", PT. Pustaka Indonesia Press Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar